Ketika diperkenalkan dengan kerajinan tenun ikat Kediri, Jawa Timur, 17 tahun silam, Siti Rukayyah bersikap biasa saja. Namun, lambat laun, ia jatuh hati dan tak rela melihat warisan leluhur itu di ambang kepunahan. Dibantu suaminya, Munawar, ia berjuang mencari terobosan untuk menghidupkan kembali kerajinan yang pernah menopang perekonomian warga Kota Kediri ini.
Ada beberapa hal yang dilakukan Rukayyah untuk mengorbitkan kembali tenun ikat kediri, di antaranya menambah varian produk berbahan tenun sehingga konsumen punya pilihan lebih banyak. Sebab, sejak lama perajin tenun ikat kediri hanya memproduksi sarung. Akibatnya, saat produk sarung pabrikan menyerbu pasar dengan harga lebih murah dan motif amat variatif, sarung tenun tak mampu bersaing.
”Untuk mencuri hati konsumen, saya memproduksi tenun ikat dalam berbagai bentuk kain, tak hanya sarung. Ini supaya bisa digunakan untuk bahan baju, tas, sandal, sepatu, dan mukena,” katanya.
Inovasi lain yang dia lakukan adalah menciptakan lebih banyak varian motif tenun. Sejak 1991, awal Rukayyah menggeluti tenun ikat, sudah ratusan motif dia ciptakan. Mulai dari motif tumbuh-tumbuhan, binatang, hingga lambang Kota Kediri, sedangkan urusan pewarnaan berada di tangan Munawar.
Rukayyah juga tak jemu mengikuti sejumlah pameran industri di dalam negeri untuk memopulerkan produknya. Ia juga melakukan ”studi banding” industri tenun di Bali. Maka, industri tenun ikat yang mengandalkan tenaga manusia dan alat tenun bukan mesin (ATBM) ini mulai bangkit.
Produk tenun buah tangan warga Kelurahan Bandar Lor dan Bandar Kidul, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, mulai terlihat lagi di sejumlah toko di berbagai kota besar di Tanah Air. Tenun ikat kediri mulai dicari konsumen.
Seiring dengan meningkatnya permintaan, Rukayyah mulai kewalahan melayani pesanan, walaupun dia sudah berkali-kali meningkatkan kapasitas produksi dengan menambah perajin. Jumlah perajinnya 25 orang, ini belum termasuk perajin yang bekerja di rumah masing-masing. Total perajin yang membantu dia sekitar 40 orang.
Setiap hari ia memproduksi sedikitnya 15 kain tenun ikat dari benang sutra maupun non- sutra. Harga per potong kain produknya bervariasi, dari Rp 110.000 sampai jutaan rupiah.